Sengketa Medis
Ndeadmin | Diposting pada |
A. Latar Belakang
Artikel ini akan mengkaji secara sederhana seputar sengketa medik, mulai dari pengertian sengketa medik, upaya menghindari sengketa medik serta penanganan sengketa medik (apa yang harus disiapkan oleh dokter dan apapula yang harus disiapkan oleh pasien) dan langkah-langkah yang bisa ditempuh.
Dasar hukum artikel ini adalah Pasal 29[1] dan 58 Ayat (1)[2] UU Kesehatan, Pasal 66 Ayat (1) UU Praktik Kedokteran,[3] Pasal 46 UU Rumah Sakit,[4] Pasal 6 Permenkes 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.[5]
Di Sumatera Barat, bermunculan kasus-kasus sengketa medik, diantaranya: kasus Yustina Putri Ningsih siswi kelas dua SMA Pertiwi koma 1,5 tahun setelah jalani operasi usus buntu di RSUD Rasidin Sungai Sapih Kota Padang. Kasus Rini Novia yang meninggal dunia akibat perdarahan setelah melahirkan anaknya di RS Arosuka di Kabupaten Solok. Kasus Etri Kartika Chandra lumpuh dan hilang ingatan setelah cabut gigi di RS Semen Padang.[6]
Makin banyaknya kasus sengketa medik yang muncul kepermukaan serta masih kurangnya literatur tentang konsep sengketa medik ini, menjadi daya tarik tersendiri bagi penulis untuk mengkaji secara sederhana tentang sengketa medik dan penanganannya.
B. Pembahasan
Hubungan dokter dengan pasien didasari oleh prinsip kepercayaan (trust), kepercayaan inilah yang mengharuskan dokter untuk berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan pasien serta mewajibkan dokter untuk menyimpan rahasia-rahasia pasien.[7] Orientasi hubungan dokter pasien adalah bantuan sosial kemanusiaan dan pengabdian, sehingga dibayar atau tidak, dokter tetap memberikan layanan dengan ketulusan hati, keluhuran budi dan demi kehormatan profesi.[8] Perkembangan zaman, menyebabkan hubungan ini mengalami perubahan orientasi kehubungan komersial dan hubungan bisnis, bahkan lebih ektrim lagi Munir Fuady dalam bukunya “Sumpah Hippocrates” menyebutkan hubungan dokter pasien sebagai hubungan kontrak yang didalamnya terkandung unsur bisnis.[9]
Akibat perubahan hubungan dokter pasien yang awalnya terjalin atas kepercayaan, suatu ketika bisa jadi berubah menjadi sebuah sengketa medik yang berujung pada gugatan malpraktik medik.
M. Nasser dalam artikelnya “Sengketa Medik dalam Pelayanan Kesehatan” menyatakan hubungan dokter dan pasien dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu:[10] hubungan yang terjadi karena kontrak terapeutik dan hubungan yang terjadi karena adanya peraturan perundangan. Kedua hubungan ini akan melahirkan tanggungjawab hukum, tanggungjawab profesi dan tanggungjawab etik bagi dokter. Sehingga jika dokter melakukan pelanggaran, baik itu pelanggaran etik, disiplin maupun hukum bisa diminta pertangungjawabannya. Pelanggaran etik ada pengadilan etik profesi, yaitu MKEK, pelanggaran disiplin ada pengadilan disiplin profesi, yaitu MKDKI dan bahkan jika terjadi pelanggaran hukum ada pengadilan administratif, perdata bahkan bisa dibawa ke pidana.
Apa itu Sengketa Medik?
Sengketa medik berasal dari dua penggalan kata, yaitu sengketa dan medik. Sengketa (dispute) berbeda dengan konflik. Konflik adalah sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak dapat berkembang menjadi sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas atau keprihatinannya. Konflik berkembang atau berubah menjadi sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau pihak lain. Ini berarti sengketa merupakan kelanjutan dari konflik. Sebuah konflik yang tidak dapat terselesaikan akan menjadi sengketa.
Medik adalah profesi dokter, jadi sengketa medik merupakan sengketa antara dokter dengan pasien atau keluarga pasien. Berikut adalah definisi sengketa medik menurut beberapa literatur: Desriza Ratman dalam bukunya “Seri Hukum Kesehatan: Mediasi Nonlitigasi terhadap Sengketa Medik dengan Konsep Win-Win Solution” mendefinisikan sengketa medik, terjadinya pertentangan antara pihak pasien dan pihak dokter atau rumah sakit disebabkan adanya salah satu pihak yang tidak puas atau terlanggar haknya oleh pihak lain.[11] UU Praktik Kedokteran membuat batasan, sengketa medik terjadi karena kepentingan pasien dirugikan oleh tindakan dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran.[12] Safitri Hariyani dalam buku Sengketa Medik: Alternative Penyelesaian Perselisihan antara Dokter dan Pasien menyatakan sengketa medik merupakan sengketa yang terjadi antara dokter dengan pasien dalam praktik kedokteran.[13] Dan pada Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja MKEK juga mendefinisikan sengketa medik, yaitu ketidaksepahaman antara pihak dokter dengan pihak pasien/klien atau keluarganya di dalam atau pasca hubungan dokter-pasien /klien yang berwujud diadukannya dokter tersebut kepada sarana kesehatan, IDI, MKEK atau lembaga disiplin (MKDKI) dan peradilan lainnya.
Upaya Menghindari Sengketa Medik
Sengketa medik itu suatu keniscayaan dalam hubungan dokter dan pasien, akhir-akhir ini banyak bermunculan kasus sengketa medik di media masa. Terbaru kasus yang menimpa Warsinah di salah satu RSU di Majenang.[14] Secara yuridis sering diperdebatkan apakah tindakan medik itu bisa dimasukkan kedalam tindak penganiayaan, karena secara umum tindakan medik itu tidak mengenakkan dan bahkan menyakitkan bagi pasien. Denny Wiradharma dalam buku “Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran”, menyatakan tindakan medik itu tidak bertentangan dengan hukum asalkan memenuhi tiga syarat berikut ini, yaitu:[15]
1. Setiap tindakan medik harus ada indikasinya,
2. Tindakan medik dilakukan sesuai dengan standar prosedur, dan
3. Setiap tindakan yang akan dilakukan harus ada informed consent
Berikut ini adalah upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya sengketa medik, yaitu:
1. Hubungan Dokter dan Pasien
Hubungan dokter dengan pasien terjalin atas dasar kepercayaan, pasien percaya bahwa dokter akan berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhannya, besarnya harapan yang terbangun ini, jika tidak terpenuhi melahirkan kekecewaan. Inilah yang menjadi cikal bakal terjadinya sengketa medik. Umumnya perikatan dokter pasien bukan perikatan hasil (Resultalte Verbintennis) tapi usaha maksimal (Inspanning Verbintennis). Bedanya, pada perikatan hasil dokter dibebankan kewajiban pembuktian, sedangkan pada perikatan usaha beban pembuktian menjadi kewajiban pasien.[16] Sehingga dalam hubungan ini, dokter harus menjelaskan dengan baik bentuk perikatannya, meskipun pada umumnya perikatan dokter dengan pasien itu perikatan usaha maksimal untuk kesembuhan, dan tidak menjanjikan hasil.
Ada tiga tipe hubungan dokter pasien, yaitu:[17] hubungan activity-passivity, guidance-coorperation dan mutual participation. Pada pasien yang tidak sadar, kasus-kasus di UGD dan gangguan jiwa tipe hubungannya dinamakan hubungan activity-passivity, untuk pasien yang penyakitnya tidak berat dan bisa mengambil keputusan sendiri biasanya pasien di poliklinik dan praktik dokter, tipe hubungannya adalah guidance-cooperation. Sedangkan, pasien yang ingin memelihara kesehatannya, misalnya pada MCU atau pada pasien penyakit kronis, tipe hubungannya adalah mutual participation. Artinya, bentuk hubungan dokter dan pasien berbeda-beda tergantung kebutuhan pasien.
2. Informed Consent
Setiap tindakan medik harus ada informed consent, tidak ada satupun tindakan medik yang dilakukan oleh dokter tanpa didahului oleh indormed consent, kecuali tindakan kegawatdaruratan diperbolehkan mengabaikan prinsip informed consent dengan catatan sesegera mungkin menjelaskan kepasien atau keluarga pasien setelah kegawatdaruratan teratasi.
Informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien yang kompeten atau keluarga terdekat setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien.[18] Senada dengan ini, Safitri Hariyani dalam bukunya mengatakan Informed consent ini hak pasien dan kewajiban dokter adalah menjelaskan segala sesuatu tentang penyakit pasien untuk memperoleh persetujuan dilakukan tindakan medik. Hal ini makin mepertegas, bahwa persetujuan diberikan setelah mendapatkan penjelasan.
Dokter yang melakukan tindakan medik tanpa ada informed consent, bisa mengalami masalah hukum, baik hukum administratif, perdata dan bahkan pidana. Dokter yang melakukan tindakan medik tanpa persetujuan pasien dan keluarganya bisa dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin praktik. Pasal 1365 KUHPerdata mengenai onrechtmatige daad, Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian, wajib bayar ganti rugi. Sedangkan, untuk tuntutan pidana bisa dengan menggunakan Pasal 351 KUHP mengenai penganiayaan.
Pasien berhak pula untuk memberikan atau tidak memberikan izin untuk dilakukan tindakan medis terhadap dirinya. Oleh sebab itu, sebelum mengambil keputusan dokter berkewajiban menjelaskan pentingnya tindakan medis terhadapnya dan risiko yang mungkin terjadi jika dilakukan atau tidak dilakukan tindakan medik tersebut, termasuk kisaran biaya.[19]
3. Standar Prosedur
Dokter dalam melakukan tindakan medik harus selalu berpatokan kepada standar pelayanan, yang terdiri dari standar profesi dan standar prosedur operasional. Sandar profesi dibuat oleh kolegium yang disepakati bersama. Sedangkan, standar prosedur operasional dibuat oleh fasilitas layanan kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, klinik berupa prosedur tetap dengan tujuannya untuk menjaga mutu layanan.[20]
Rumah sakit yang tidak memiliki standar prosedur bisa mengalami masalah hukum. Jika terjadi sengketa medik, sementara rumah sakit tidak dapat menunjukkan standar prosedurnya. Maka dokter dan paramedis lainnya tidak memiliki perlindungan hukum.
Penanganan Sengketa Medik
Sengketa medik dapat diselesaikan melalui dua jalur, yaitu jalur litigasi (pengadilan) dan jalur non litigasi (di luar pengadilan, terdiri dari negosiasi, konsilidasi, mediasi, dll). Keduanya memiliki keuntungan dan kerugian. Pasal 29 UU Kesehatan menyatakan bahwa jika terjadi sengketa medik, pilihlah mediasi sebagai penyelesaiannya. Karena dengan mediasi dokter dan pasien selaku pihak penggugat bisa leluasa mengutarakan permasalahannya dan mereka sendiri yang memilih cara penyelesaiannya. Berikut ini adalah hal-hal apa saja yang harus dipersiapkan oleh dokter dan pasien dalam menghadapi sengketa medik:
Jika Terjadi sengketa medik, Apa yang Harus Disiapkan oleh Dokter?
Dokter berkewajiban memberikan pelayanan medik sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur berdasarkan kode etik kedokteran, merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya dan menambah ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, dokter dituntut untuk memberikan usaha terbaik untuk kesembuhan pasien, walaupun demikian dokter tidak terlepas dari tuntutan jika pasien merasa tidak puas dengan apa yang dilakukan dokter. Negara kita adalah negara hukum (role of law), salah satu unsur dari rule of law adalah presumption of innocence (praduga tidak bersalah), dalam Pasal 66 KUHAP menyatakan tersangka atau terdakwa tidak dibebankan kewajiban pembuktian.[21] Ini diperkuat oleh Pasal 158 KUHAP dimana, Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa.[22] Dengan demikian, tergugat dalam hal ini dokter tidak memiliki beban pembuktian, pasienlah selaku penggugat yang memiliki tanggung jawab pembuktian di pengadilan. Lain halnya dengan gugatan perdata, pada gugatan perdata, bisa saja dokter selaku pihak tergugat yang memiliki beban pembuktian. Karena tergugat dan pengugat memiliki kedudukan yang setara.
Berikut adalah persiapan yang harus disiapkan dokter manakala menghadapi tuntutan dari pasien, yaitu:
1. Pastikan tidak ada unsur kelalaian
Dalam memberikan pelayanan kesehatan, dokter bekerja sesuai standar profesi dan standar prosedur yang berpatokan pada etik kedokteran merupakan harga yang tidak bisa ditawar. Dokter harus memberikan usaha maksiamal dan tidak boleh ada kelalaian dalam pelayanan kesehatan.
2. Cari pembenar
Setiap penyakit memiliki patofisiologis atau perjalanan penyakit, ada yang progresif perjalanan perburukannya ada yang kronik, yang jelas berbeda tiap penyakit. Ini harus dipahami baik dokter yang memberikan layanan kesehatan maupun pasien yang menerima layanan kesehatan. Demikian pula dengan tindakan, sekecil apapun tindakan yang akan dilakukan dokter memiliki resiko.
Dokter dengan pasien harus saling memahami apa yang dikatakan risiko tindakan medik, mulai dari yang ringan hingga yang berat bahkan kematian. Ada dua jenis risiko yang harus kita pahami, yaitu risiko yang bisa diperhitungkan sebelumnya dan risiko yang tidak bisa diprediksi sebelumnya, seperti emboli air ketuban pada pasien operasi sesar atau reaksi hipersensitivitas. Risiko yang bisa diperhitungkan sebelumnya, dokter punya tanggungjawab hukum untuk menjelaskan di waktu memberikan informed consent, sehingga jika terjadi dokter tidak dipersalahkan. Beda halnya dengan risiko yang tidak dapat diprediksi, jika muncul risiko itu bukan tanggung jawab dokter meski tidak dijelaskan di waktu informed consent.[23] Perjalanan penyakit dan risiko tindakan dapat menjadi pembenar yang membantu meringankan dokter ketika berperkara.
3. Cari pemaaf
Dalam memberikan layanan kesehatan dokter tidak boleh dibawah tekanan atau ancaman. Dokter juga harus memiliki rasa nyaman dalam bekerja dan kontribusi pasien dan keluarga dalam menciptakan suasana nyaman dilingkungan sarana kesehatan sangat membantu kerja dokter dan berefek langsung dengan layanan yang diterima pasien. Artinya, antara dokter dan pasien harus saling memahami peran masing-masing.
Ketiga hal inilah yang dapat meringankan dokter dalam menghadapi sengketa medik.
Langkah Apa yang Ditempuh Pasien
Dokter dalam menjalan tugas pengabdiannya di masyarakat harus selalu berpedoman kepada standar profesi dan etik kedokteran. Tindakan medis yang tidak memenuhi standar profesi kedokteran dapat dipidana. Meskipun demikian, mekanisme hukum pidana seharusnya menjadi pilihan terakhir setelah mekanisme perdata atau administratif ditempuh terlebih dahulu. Permasalahan yang muncul adalah sulitnya mengajukan bukti-bukti dalam tuntutan perkara sengketa medik serta pada siapa terletak beban pembuktian tersebut.[24]
Berikut adalah beberapa upaya yang dapat dilakukan pasien dalam menghadapi sengketa medik, yaitu:
1. Melaporkan kepada MKDKI;
2. Melakukan mediasi atau menggugat secara perdata untuk meminta ganti rugi;
3. Membuat laporan pidana jika dokter tersebut melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan penerima pelayanan kesehatan luka berat.
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, disingkat MKDKI adalah lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi.[25] MKDKI ini merupakan lembaga otonom bentukan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang bekerja secara independen.
Laporan yang dikirimkan ke majelis ini, sekurang-kurangnya memuat tentang identitas pelapor, nama dan alamat tempat praktik dokter, waktu tindakan dilakukan serta alasan pengaduan. Laporan ini tidak menghalangi hak pasien sebagai warga negara untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang serta menggugat ganti rugi kepengadilan perdata.[26]
C. Simpulan
Sengketa medik merupakan sengketa yang terjadi antara dokter, tenaga kesehatan, rumah sakit dengan pasien atau keluarga pasien yang berkaitan dengan layanan kesehatan.
Setiap tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus memiliki indikasi medis, dikerjakan sesuai aturan (standar profesi dan standar prosedur operasional) serta didahului oleh meminta persetujuan pasien (informed consent).
Sengketa medik dapat diselesaikan melalui jalur litigasi dan non litigasi. Kedua jalur ini memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing.
Daftar Pustaka
Anonim, 2019, Dugaan Kematian Pasien Malpraktek RSU Duta Mulya Majenang, diakses tanggal 19 Juni 2019 dari https://www.sigap88news.co.id/2018/12/dugaan-kematian-pasien-malpraktik.html?m=1
Elvandari, S 2015, Hukum Penyelesaian Sengketa Medik, Thafa Media, Yogyakarta.
Fuady, M 2005, Sumpah Hippocrates, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Guwandi, J 2010, Hukum Medik,Cetakan ke-4, FKUI, Jakarta.
Hariyani, S 2005, Sengketa Medik: Alternative Penyelesaian Perselisihan antara Dokter dan Pasie,. Diadit Media, Jakarta.
Pendewal, 2018, Informed Consent, diakses tanggal 21 Juni 2019 dari https://dptdokhukes.wordpress.com/2018/05/19/informed-consent/#more-15
________, 2019, Efektivitas Perlindungan Hukum terhadap Dokter sebagai Pemberi Jasa Layanan di Unit Gawat darurat RSUD Solok Selatan, Megister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Bung Hatta, Padang.
Pendewal, Firman, FA. Kamal, M 2019, Efektivitas Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa Medik pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama di Solok Selatan, Sinmag 2 Vol. 2 No. 1, Megister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Bung Hatta, Padang.
Ratman, D 2012, Seri Hukum Kesehatan: Mediasi Nonlitigasi terhadap Sengketa Medik dengan Konsep Win-Win Solution. PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta.
Riyadi, M 2018, Teori Iknemook dalam Mediasi Malpraktik Kedokteran, Prenadamedia Group, Jakarta.
Soetrisno, S 2010, Malpraktek Medik & Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. Telaga Ilmu Indonesia, Tangerang
Wiradharma, D 1996, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Binarupa Aksara, Jakarta
[1] Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.
[2] Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
[3] Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
[4] Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit.
[5] Pemberian persetujuan tindakan kedokteran tidak menghapuskan tanggung gugat hukum dalam hal terbukti adanya kelalaian dalam melakukan tindakan kedokteran yang mengakibatkan kerugian pada pasien.
[6] Pendewal, Fareiz Aulia Firman, Miko Kamal, 2019, Efektivitas Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa Medik pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama di Solok Selatan, Sinmag 2 Vol. 2 No. 1, Megister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Bung Hatta, Padang, hlm. 272
[7] PP Nomor 10 Tahun 1966, Rahasia medik adalah segala sesuatu yang harus dirahasiakan mengenai apa yang diketahui dan didapatkan selama menjalani praktek lapangan kedokteran, baik yang menyangkut masa sekarang maupun yang sudah lampau, baik pasien yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Permenkes Nomor 36 Tahun 2012, Rahasia medik adalah data dan informasi tentang kesehatan seseorang yang diperoleh tenaga kesehatan pada waktu menjalankan pekerjaan atau profesinya.
[8] Machli Riyadi, 2018, Teori Iknemook dalam Mediasi Malpraktik Kedokteran, Prenadamedia Group, Jakarta, hlml. 23
[9] Munir Fuady, 2005, Sumpah Hippocrates, Citra Aditya Bakti, Bandung, Bandung, hlm. 29
[10] Disampaikan pada Annual Scientific Meeting UGM-Yogyakarta, Lustrum FK UGM, 3 Maret 2011
[11] Desriza Ratman, 2012, Seri Hukum Kesehatan: Mediasi Nonlitigasi terhadap Sengketa Medik dengan Konsep Win-Win Solution, PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta, hlm. 4
[12] Pasal 6 Ayat (1) Undang-undang Praktik Kedokteran, yaitu: Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
[13] Safitri Hariyani, 2005, Sengketa Medik: Alternative Penyelesaian Perselisihan antara Dokter dan Pasien, Diadit Media, Jakarta, hlm. 8
[14] Dugaan Kematian Pasien Malpraktek RSU Duta Mulya Majenang, diakses tanggal 19 Juli 2019 dari https://www.sigap88news.co.id/2018/12/dugaan-kematian-pasien-malpraktik.html?m=1
[15] Danny Wiradharma, 1996, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Binarupa Aksara, Jakarta, htm. 45
[16] S. Soetrisno, 2010, Malpraktek Medik & Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. Telaga Ilmu Indonesia, Tangerang, hlm. 10-11.
[17] Ibid. Hlm. 43
[18] Pendewal, 2018, Informed Consent, diakses tanggal 21 Juni 2019 dari https://dptdokhukes.wordpress.com/2018/05/19/informed-consent/#more-15
[19] S. Soetrisno, Op. Cit., hlm. 19
[20] Pendewal, 2019, Efektivitas Perlindungan Hukum terhadap Dokter sebagai Pemberi Jasa Layanan di Unit Gawat darurat RSUD Solok Selatan, Megister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Bung Hatta, Padang, hlm. 30.
[21] Danny Wiradharma, Op. Cit., hlm 104
[22] J. Guwandi, 2010, Hukum Medik,Cetakan ke-4, FKUI, Jakarta, hlm. 88-89
[23] Siska Elvandari, 2015, Hukum Penyelesaian Sengketa Medik, Thafa Media, Yogyakarta, hlm. 130
[24] Danny Wiradharma, Op.Cit., 104
[25] Pasal 1 Ayat (14) UU Praktik Kedokteran
[26] Pasal 66 Ayat (2) dan (3) UU Praktik Kedokteran
Tinggalkan Balasan