Perlindungan Hukum Dokter

Perlindungan Hukum Dokter

Pendahuluan

Dokter dalam menjalankan tugas profesinya, mungkin saja suatu ketika dihadapkan pada masalah hukum. Misalnya, dugaan malpraktik, dugaan kelalaian, surat keterangan palsu, dll. Yang berujung pasien menuntut ganti rugi. Bagaimana hukum memberikan perlindungan pada dokter yang melakukan praktik kedokteran?

Diskusi

Hingga saat ini belum ada undang-undang khusus tentang perlindungan hukum dokter, seperti Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Yang ada sekarang ini, perlindungan hukum dokter tersirat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Posisi kedua undang-undang tersebut itupun hanya fokus pada perlindungan hukum terhadap dokter saat pasien yang menjadi korban. Bagaimana dengan saat sekarang ini, dokter bisa jadi menjadi korban keluarga pasien yang tidak puas dengan layanan yang diberikan atau bisa jadi dokter terlanjur mendapatkan perlakuan kasar dari keluarga pasien karena ketidaktahuan. Bagaimana hukum memberikan perlindungannnya kepada dokter?

Bentuk perlindungan hukum yang didapatkan oleh dokter dalam menjalankan tugas profesinya, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif merujuk kepada Pasal 50 UU Praktik Kedokteran[1], sedangkan perlindungan hukum represif merujuk pada Pasal 29 UU Kesehatan.[2]

Perlindungan hukum preventif sebagaimana diatur dalam Pasal 50 UU Praktik Kedokteran memberikan perlindungan hukum bersyarat, artinya tidak serta merta memberikan perlindungan hukum kepada dokter. Dokter akan mendapatkan perlindungan hukum jika memenuhi syarat, yaitu: memiliki STR, SIP, melakukan tindakan medis sesuai standar (standar profesi, standar operasional, standar layanan dan standar etik), ada informed consent untuk setiap tindakan medik dan semua harus terdokumentasi dengan baik dalam buku yang kita kenal dengan rekam medik.

Sedangkan perlindungan hukum represif lebih difokuskan untuk mengurai sengketa yang dihadapi oleh dokter, misalnya jika terjadi dugaan malpraktik atau dugaan kelalaian, dimana pasien menuntut ganti rugi. Karena hubungan dokter dengan pasien adalah hubungan perdata, maka Setiap sengketa perdata yang masuk ke pengadilan, harus diupayakan penyelesaiannya secara mediasi terlebih dahulu, kecuali ditentukan lain oleh Perma Nomor 1 Tahun 2016.[3] Mediasi ada yang dilakukan di pengadilan dan ada pula yang dilakukan di luar pengadilan. Mediasi di pengadilan bersifat wajib, regulasinya jelas. Sedangkan, mediasi di luar pengadilan, belum ada aturan yang mengatur bagaimana prosesnya, sehingga mediasi di luar pengadilan cenderung bersifat universal dan tidak bersifat legalistik. Belum adanya aturan yang mengatur mediasi di luar pengadilan, menjadi kekuatan tersendiri bagi proses mediasi, sekaligus menjadi kelemahannya. Menjadi kekuatan, karena prosesnya akan leluasa (fleksibel) untuk para pihak dan mediator dalam menyelenggarakannya sesuai kebutuhan dan jenis kasus yang ditangani. Menjadi kelemahan, karena tidak ada aturan yang mengatur, berarti tidak ada standarisasi dan kepastian. Mediasi yang dilakukan di luar pengadilan dibantu oleh mediator bersertifikat.

Simpulan

1)      Belum adanya undang-undang yang khusus mengatur tentang perlindungan hukum dokter

2)      Dokter dalam menjalankan tugas profesinya mendapatkan perlindungan hukum preventif dan represif.

3)      Sengketa antara dokter dengan pasien, penyelesaiannya terlebih dahulu diupayakan secara mediasi, baik di pengadilan maupun di luar pengadilan dengan bantuan mediator sengketa medis bersertifikat.



[1] Pasal 50 UU Praktik Kedokteran disebutkan Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.

[2] Pasal 29 UU Kesehatan disebutkan Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.

[3] Perkara yang memiliki tenggang waktu penyelesaiannya, pada saat pemeriksaan tidak dihadiri oleh salah satu pihak, kasus gugatan balik (rekonvensi) atau masuknya pihak ketiga dalam perkara (intervensi), sengketa pencegahan/penolakan/pembatalan/ pengesahan perkawinan dan perkara yang sudah dilakukan upaya mediasi tapi gagal (Pasal 4 Ayat (1) dan (2).

Website
Hukum Kesehatan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *